
Camat Modo Berdalih Terkait PTSL yang Penting Masyarakat Senang
Daerah    Selasa 21 Maret 2023    12:56:18 WIBLamongan Krindomemo - Seperti yang sudah diberitakan beberapa hari lalu, di daerah Kecamatan Modo kabupaten Lamongan pada tahun 2022 mendapat program PTSL sebanyak 13 desa, seperti Desa Kedungwaras, Sambungrejo, Sidodowo dan lain sebagainya, serta terdiri dari puluhan ribu kuota/pemohon.
Sementara untuk tahun 2023 Kecamatan Modo juga kembali mendapatkan sebanyak 6 Desa, dan tuntas sudah seluruh desa sudah mendapatkan kuota PTSL.
Namun apalah daya, puluhan ribu kuota program PTSL yang di canangkan oleh pemerintah, khususnya di era pemimpin Joko Widodo, yang menyasar wilayah Kecamatan Modo ini terindikasi jadi lumbung korupsi bersama.
Buktinya masing-masing panitia PTSL di Desa wilayah Modo yang mendapat ribuan kouta PTSL tersebut memungut biaya pendaftaran sebesar Rp. 750 ribu rupiah.
Menurut informan di lapangan, Muncul dugaan bahwa dana Rp.700 ribu rupiah dari per pemohon PTSL tersebut, ternyata diduga untuk upeti yang diberikan kepada setiap pemangku jabatan yang punya kewenangan.
Diantaranya untuk Humam, calo berkas PTSL yang diduga tenaga kecamatan sebanyak Rp 200.000, untuk aparat Hukum RP.100.000, Untuk kepala desa Rp.100.000, Muspika Rp.50.000 dan sisanya digunakan untuk kepentingan Pokmas.
Pantas saja meski hal itu bertentangan dengan aturan SKB 3 Menteri yang menyebutkan swadaya yang dibebankan kepada Peserta Program PTSL sebesar Rp 150.000., berlaku untuk zona Jawa – Bali. Aman-aman saja bahkan seolah tidak pernah tersentuh aparat penegak hukum baik dari kepolisian maupun Kejaksaan Negeri Lamongan.
Bahkan Diyah Ambarwati kepala kejaksaan Negeri Lamongan saat dimintai tanggapan beberapa hari lalu terkait pemberitaan PTSL di Kecamatan Modo siap untuk memproses secara hukum, jika nanti ada laporan masuk.
Padahal melalui pemberitaan atau laporan informasi (LI) yang sudah dilayangkan pada pihaknya yang berdasarkan bukti serta fakta di lapangan, seharusnya pihak kejaksaan langsung tanggap dengan melakukan pemeriksaan terhadap oknum-oknum yang berkecimpung.
Sementara Ahmad Kurniawan selaku Camat Modo saat dikonfirmasi wartawan diruang kerjanya saat itu, mengenai besaran nilai tarif pemohon PTSL justru jawabannya ngelantur diluar pertanyaan wartawan.
"Habis berapapun saya yang penting warga masyarakat Modo seneng, kalu tidak suka biarkan gak ikut PTSL, kalau saudara pingin memberitakan masalah ini silakan tulis,” tandas Camat.
Ahmad Kurniawan juga mengatakan jika disini juga banyak wartawan yang terindikasi tidak terkoordinasi dan tidak masuk dalam wadah wartawan termasuk Dewan pers.
Hal tersebut sering di peringatkan oleh pimpinan redaksi Harian Memo H. Samsul Arif, bahwa Harian Memo berdiri secara independen, tidak tergantung pada dewan pers, banyak media yang ikut di dewan Pers, ketika ada masalah ternyata tidak menjamin bisa melindunginya.
"Jika ada pejabat dimana saja khususnya di Lamongan yang tidak terima dengan adanya media Harian Memo atau Krindomemo, saya siap untuk dihadapkan, seperti apa yang diucapkan camat Modo,” ungkapnya.
Perlu diketahui, pada dasarnya kejahatan juga bisa dilakukan melalui sebuah kesepakatan dan pemufakatan (pemufakatan jahat). Jika hal itu dibenarkan lantaran dengan dasar Perbup Nomor 22 Tahun 2018. Bukankah Terdapat sepuluh pasal pada bagian batang tubuhnya.
Mulai dari pasal yang berisi ketentuan umum hingga pasal mengenai ketentuan penutup. Diantara pasal-pasal tersebut tidak ada ketentuan mengenai besaran pembiayaan persiapan PTSL secara tegas.
Pasal 6 sebagai pasal yang mengatur besaran biaya, justru rumusannya berpotensi menimbulkan tafsir yang beragam atau dapat disebut sebagai pasal karet.
Pada Ayat (1) rumusannya menyatakan bahwa biaya persiapan PTSL dibebankan kepada peserta PTSL. Rumusan Ayat (2) menyatakan besaran biaya ditetapkan berdasarkan hasil musyawarah bersama antara Kelompok Masyarakat dengan melibatkan peserta PTSL.
Kemudian, rumusan ayat (3) menyatakan bahwa besaran biaya yang ditetapkan berdasarkan hasil musyawarah bersama tersebut harus rasional, wajar dan berdasarkan asas kepatutan. Jadi, dari ketiga ayat tersebut, sama sekali tidak terdapat kepastian dan ketegasan mengenai besarannya biaya persiapan PTSL.
Namun, sesungguhnya dasar hukum yang mengatur pembiayaan persiapan PTSL bukan hanya Peraturan Bupati tersebut, akan tetapi diantaranya ada Keputusan Bersama Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Tahun 2017 tentang Pembiayaan Persiapan Pendaftaran Tanah Sistematis.
Pada diktum ketujuh Keputusan Bersama tersebut secara jelas dan tegas mencantumkan besaran biaya persiapan PTS. Untuk Kabupaten Lamongan, besaran biayanya seharusnya mengacu pada diktum ketujuh angka 5, yakni sebesar Rp. 150.000,00 dikarenakan Kabupaten Lamongan menjadi bagian dari Jawa yang berada di Kategori V.
Andai saja isi diktum ketujuh tersebut dimuat dalam Perbup, maka akan memberikan kepastian besaran biaya yang dibebankan pada peserta PTSL.
Meskipun tidak diatur dalam Perbup, bukan berarti dapat dibenarkan menetapkan besaran biaya persiapan PTSL yang menyimpang dari ketentuan diktum ketujuh Keputusan Bersama Menteri tersebut.
Justru, ketika Perbup tidak mengatur, maka seharusnya mengacu pada peraturan yang sederajat atau lebih tinggi kedudukannya. Berangkat dari uraian yang demikian, sudah seharusnya peraturan yang mengandung pasal multitafsir dikaji kembali dan dicabut.
Bupati sebagai pejabat yang diberi kewenangan menerbitkan peraturan dengan jenis Peraturan Bupati, dapat mengkaji kembali dan melakukan pencabutan terhadap Peraturan Bupati Lamongan Nomor 22 Tahun 2018 Tentang Pembiayaan Persiapan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap.
Agar program PTSL benar-benar dapat berjalan sesuai dengan tujuan pembuatan program. Bukan malah dijadikan Oknum-oknum perangkat desa untuk berlindung dibalik pasal “karet”. (Pri/As)
Editor : Eko Asrory